Banyumas Dalam Cermin 140an Ormas Berkumpul Dalam Aksi Damai Dan Doa Bersama

Banyumas dalam cermin 140 Ormas di Purwokerto , Hari Rabo pon .3 September 2025 dipendopo sipanji Banyumas bersama Suwatno Ibnu Sudihardjo dalam pengisi waktu luang setelah acara aksi Damai menyampaikan pada tim awak media IWO Indonesia . ( Ikatan wartawan online Indonesia)
Seperti apa wajah Banyumas hari ini? Jika ingin melihatnya, cukup bercermin pada acara Deklarasi Damai dan Doa Bersama yang dihadiri sekitar 140-an ormas di pendopo kabupaten.
Dalam acara itu, semua tampil rapi, semua berbaris indah, semua mengumandangkan kata yang sama: damai. Seolah-olah Banyumas adalah wilayah penuh konflik yang hanya bisa diselamatkan dengan sebuah deklarasi. Padahal, faktanya, demo 25 Agustus hanya berlangsung sehari. Setelah itu, suasana kembali normal. Pasar tetap ramai, sekolah tetap berjalan, rakyat tetap bekerja seperti biasa.
Ironisnya, yang juga “kembali normal” adalah perilaku para koruptor dan pejabat arogan. Mereka tetap melanjutkan aksinya: mengutak-atik anggaran, menyalahgunakan kewenangan, dan menutup telinga terhadap suara rakyat. Semua berjalan seolah-olah tak ada yang terjadi.
Lalu, apa makna dari 140-an ormas yang hadir?Mereka dengan lantang mengutuk kekerasan rakyat, tapi bungkam seribu bahasa terhadap kekerasan struktural yang jauh lebih menyakitkan: korupsi dan penyelewengan kekuasaan.
Mereka sepakat menjaga ketertiban, tapi lupa bahwa keadilan adalah fondasi utama dari kedamaian.
Mereka menyatukan suara untuk doa, tapi kehilangan suara untuk membela kebenaran.
Banyumas pun tercermin dalam wajah ormas-ormas ini: lebih sibuk menjaga citra ketentraman, ketimbang memperjuangkan keberanian moral. Lebih aman berdiri di sisi penguasa, daripada berdiri bersama rakyat yang terluka.
Pertanyaan yang tak bisa dihindari adalah: apakah damai berarti rakyat harus diam, sementara penguasa bebas berbuat semaunya? Apakah doa bersama cukup untuk menutup borok korupsi yang makin lebar? Ataukah ini hanya sebuah panggung simbolik—di mana ormas tampil seolah peduli, padahal sejatinya memilih selamat?
Banyumas hari ini sedang mempertontonkan drama yang getir. 140-an ormas seharusnya menjadi benteng moral, tapi justru menjadi barisan diam. Mereka mengutuk kerikil kecil berupa kerusuhan sehari, tapi membiarkan gunung besar berupa korupsi berdiri kokoh di hadapan mata.
Cermin ini tak bisa dipungkiri. Jika wajah Banyumas yang tercermin adalah ketakutan, kepatuhan, dan kebisuan, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya keberanian masyarakat sipil. Dan sejarah akan mencatat: di saat rakyat menunggu suara jernih, 140-an ormas memilih untuk menunduk ( H SBR / EDY Tim IWO I )