Mahasiswi Diduga Alami Pelecehan Verbal Dan Penahanan Ijazah Oleh Wakil Rektor Ii Universitas Muhammadiyah Tegal, Kuasa Hukum Siap Tempuh Jalur Hukum

Dunia akademik dikejutkan dengan kasus dugaan pelecehan verbal dan penahanan ijazah yang dialami oleh Mei Astri Prihastuti, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Tegal (UMT).
Perlakuan tidak pantas itu diduga dilakukan oleh Wakil Rektor II UMT, Nurhadi Kamaluddin, S.E., M.Ak., saat proses bimbingan akademik. Selain itu, hingga kini Mei belum menerima ijazahnya, padahal berdasarkan data Kemendikbudristek, ia telah dinyatakan lulus secara akademik.
Kasus ini menjadi perhatian serius publik karena menyangkut dua isu mendasar: etika pendidik dan hak hukum mahasiswa atas ijazah sebagai bukti kelulusan yang sah.
Pelecehan Verbal di Ruang Akademik: “Suruh Pinjol dan Jual Motor”
Dalam kesaksiannya, Mei Astri Prihastuti mengaku mengalami pelecehan verbal saat menjalani proses bimbingan dengan Nurhadi Kamaluddin. Ia menuturkan, awalnya hanya bermaksud menjelaskan kesulitan ekonomi keluarga dan keterlambatan pembayaran biaya kuliah. Namun, tanggapan yang diterimanya justru membuatnya tersinggung dan trauma.
“Beliau bilang, ‘mau pinjol kek, pinjam KTP teman kek, atau jual motor kek’. Saya kaget, tersinggung, dan malu. Ucapan itu disampaikan di depan teman-teman saya, dengan nada bercanda, tapi sangat menyinggung,” ungkap Mei.
Ia menambahkan, ucapan itu diulang sampai tiga kali dalam kesempatan berbeda, bahkan di hadapan mahasiswa lain. Akibatnya, ia mengalami tekanan psikis dan kehilangan semangat belajar.
“Saya benar-benar trauma. Sejak kejadian itu, saya tidak mau datang ke kampus. Setiap kali melihat gedung kampus, saya merasa takut dan sakit hati,” ujarnya.
Mei mengaku sudah menyampaikan hal ini kepada salah satu dosen dan staf kampus, namun tidak ada tindakan berarti.
“Saya pernah cerita ke dosen, tapi tidak ada pembelaan. Semua diam. Seolah-olah ini hal biasa, padahal saya sudah merasa dilecehkan,” tambahnya.
Sorotan Kinerja Akademik: Dosen Jarang Mengajar
Tak berhenti di situ, Mei juga mengungkapkan fakta lain mengenai kedisiplinan akademik Nurhadi Kamaluddin yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor II UMT. Menurutnya, Nurhadi sering kali tidak hadir mengajar, sehingga mahasiswa kebingungan memahami materi perkuliahan.
“Pak Nurhadi itu jarang banget masuk kelas. Kadang cuma titip tugas atau absen tanpa menjelaskan materi. Akibatnya, banyak teman-teman saya yang plonga-plongo, bingung karena gak ngerti apa-apa,” tutur Mei dengan nada kecewa.
Ia menegaskan, hal ini tidak sejalan dengan prinsip profesionalisme seorang pendidik, apalagi di lingkungan universitas yang membawa nama besar Muhammadiyah.
“Kami ini kan bayar kuliah. Kami punya hak untuk mendapat pembelajaran yang layak. Tapi kalau dosennya tidak mengajar dengan benar, kami jelas dirugikan,” ujarnya tegas.
Ijazah Ditahan Meski Sudah Lulus di Kemendikbudristek
Kasus ini kian pelik karena ijazah dan surat keterangan lulus Mei Astri Prihastuti juga ditahan oleh pihak universitas dengan alasan belum melunasi tunggakan administrasi.
Wakil Rektor II UMT, Nurhadi Kamaluddin, saat dikonfirmasi menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah sesuai aturan internal kampus.
“Kami tidak menahan tanpa alasan. Mahasiswa harus menyelesaikan seluruh kewajiban administrasi sebelum mendapatkan ijazah,” ujarnya singkat.
Namun, fakta bahwa Kemendikbudristek sudah menetapkan status kelulusan Mei menimbulkan pertanyaan besar tentang dasar hukum penahanan dokumen akademik tersebut.
Kuasa Hukum Siap Tempuh Jalur Hukum: “Penahanan Ijazah Adalah Pelanggaran Hak Konstitusional”
Kasus ini kini telah mendapat pendampingan hukum dari Mugiyatno, S.H., M.Kn., CTA, yang bertindak sebagai kuasa hukum sekaligus pakar hukum pendidikan Mei Astri Prihastuti.
Dalam keterangannya, Mugiyatno menegaskan bahwa pihaknya akan menempuh langkah hukum terhadap tindakan kampus dan pejabat yang dinilai melanggar ketentuan perundang-undangan.
“Kami sedang menyiapkan langkah hukum. Penahanan ijazah tanpa dasar yang sah merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk memperoleh hasil pendidikan,” tegas Mugiyatno.
Ia menjelaskan bahwa ijazah merupakan hak mutlak hasil capaian akademik, bukan barang jaminan utang.
“Menahan ijazah berarti menahan hak seseorang. Ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,” jelasnya.
Mugiyatno menambahkan, tindakan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan dan denda maksimal Rp300 juta.
Sementara untuk dugaan pelecehan verbal, Mugiyatno menyebut bahwa ucapan bernada merendahkan status ekonomi mahasiswa dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan atau pelecehan verbal ringan, yang diatur dalam Pasal 310 KUHP, dengan ancaman pidana penjara hingga 9 bulan atau denda maksimal Rp4.500.000.
“Kami akan mengajukan langkah hukum sesuai prosedur. Ini bukan sekadar pembelaan individu, tapi juga upaya memperbaiki moralitas dan etika akademik di kampus,” tegasnya.
Trauma, Kekecewaan, dan Seruan Moral
Mei Astri Prihastuti kini masih berjuang memulihkan kondisi psikisnya setelah kejadian tersebut. Ia mengaku kecewa namun tetap berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak.
“Saya tidak ingin mempermalukan siapa pun, tapi saya ingin dunia pendidikan bersih dari perilaku tidak etis. Pendidikan harusnya tempat yang aman, bukan tempat yang membuat mahasiswa takut,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, “Saya hanya ingin semua dosen sadar bahwa mahasiswa datang ke kampus untuk belajar, bukan untuk direndahkan karena kondisi ekonominya. Tolong, jangan lagi mengaitkan pendidikan dengan uang.”
Saatnya Pendidikan Kembali ke Marwah Moral dan Kemanusiaan
Kasus Mei Astri Prihastuti menjadi cermin serius bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Ketika universitas mulai abai terhadap etika akademik dan hak hukum mahasiswa, maka hilanglah makna sejati dari pendidikan itu sendiri.
Kini, seluruh mata tertuju pada langkah Universitas Muhammadiyah Tegal — apakah akan bertanggung jawab secara moral dan hukum, atau justru membiarkan praktik yang mencederai martabat dunia akademik terus terjadi.
Dengan adanya pendampingan hukum dari Mugiyatno, S.H., M.Kn., CTA, kasus ini dipastikan akan berlanjut ke jalur hukum untuk memastikan keadilan bagi korban, serta menjadi momentum refleksi nasional bahwa pendidikan bukanlah arena kekuasaan, tetapi ruang kemanusiaan.