Sekdes Sangkanayu Tolak Buka Dokumen Kambing Ketapang 2021, Diduga Tutupi Kejanggalan Anggaran
Dugaan praktik ketertutupan kembali mencuat di Pemerintah Desa Sangkanayu, Kecamatan Mrebet, Purbalingga. Dua pejabat desa Sekretaris Desa Sulaiman dan Kasi Pelayanan Sukron secara terang-terangan menolak memberikan dokumen publik terkait Program Ketapang 2021. Dokumen tersebut meliputi salinan serah terima kambing, berita acara pengadaan, bukti pembelian, kwitansi, SKKH, hingga dokumen terkait 10 ekor kambing yang disebut sakit hingga mati.
Penolakan itu terjadi saat awak media melakukan konfirmasi resmi di balai desa. Ironisnya, kedua pejabat desa berdalih bahwa dokumen negara tersebut "tidak boleh diberikan kepada wartawan" dengan alasan mendapat arahan dari kejaksaan, tipikor, dan inspektorat tanpa menunjukkan satu pun bukti tertulis.
Dalam konfirmasi yang sama, Sekdes Sulaiman justru mengakui bahwa seluruh dokumen tersebut ada dan sudah pernah ditunjukkan kepada Inspektorat maupun Unit Tipikor. Namun ketika diminta menjelaskan dasar hukum penolakan terhadap media, jawabannya justru makin menimbulkan dugaan upaya penyembunyian anggaran.
"Dokumen ada, kami sudah diperiksa Inspektorat dan Tipikor." Ungkap Sekdes Sulaiman
Sulaiman bahkan menegaskan dirinya siap bertanggung jawab bahwa dokumen tersebut "tidak boleh diketahui wartawan", sebuah pernyataan yang tanpa dasar dan bertentangan dengan undang-undang.
"Saya siap bertanggung jawab kalau dokumen itu tidak boleh wartawan tahu." Tambahnya.
Lebih jauh, ketika ditanya apakah penolakan itu merupakan instruksi Kepala Desa, keduanya mengaku tidak ada surat resmi apa pun yang membolehkan desa untuk bersikap tidak transparan. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: jika dokumen benar ada dan sesuai aturan, mengapa justru takut ditunjukkan kepada publik?
Sejumlah aturan negara secara tegas mewajibkan pemerintahan desa bersikap terbuka terhadap dokumen publik, terutama yang terkait anggaran. Tindakan menolak memberikan dokumen pengadaan kambing ini secara langsung bertentangan dengan:
1. UU Desa (UU No. 6/2014) Pasal 24 tentang asas transparansi dan akuntabilitas serta Pasal 26 ayat (4) huruf f yang mewajibkan Kepala Desa menjalankan pemerintahan secara transparan.
2. UU Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008) Pasal 4, Pasal 7, dan Pasal 11 menegaskan bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi publik, sementara pemerintah desa wajib menyediakan dokumen anggaran setiap saat.
3. Permendagri 20 Tahun 2018, pengelolaan keuangan desa harus transparan dan akuntabel. Dokumen pengadaan kambing termasuk dokumen keuangan yang wajib dibuka.
4. Permendagri 73 Tahun 2020, menegaskan seluruh dokumen keuangan desa adalah informasi publik.
5. PP 43 Tahun 2014 jo. PP 47 Tahun 2015 Pasal 82 Masyarakat berhak mendapatkan informasi terkait rencana dan pelaksanaan pembangunan desa, termasuk program pengadaan kambing.
Tindakan penolakan ini berpeluang menyeret pihak desa pada berbagai konsekuensi hukum:
1. Pasal 52 UU KIP (Pidana) Menghalangi akses informasi publik dapat dipidana hingga 1 tahun penjara atau denda maksimal Rp5 juta.
2. Maladministrasi (Ombudsman RI) Jika dokumen ternyata tidak ada, tidak sesuai, atau ditahan tanpa alasan hukum, maka termasuk penyalahgunaan wewenang dan penundaan pelayanan.
3. Pelanggaran Administrasi Berat, Kepala Desa, Sekdes, dan pejabat terkait dapat dilaporkan ke Inspektorat, Tipikor, Kejaksaan, Komisi Informasi, hingga Ombudsman.
4. Penghalangan Tugas Jurnalistik (UU Pers) Penolakan yang ditujukan kepada wartawan dapat dianggap sebagai tindakan menghambat kerja jurnalistik.
5. Potensi Tipikor (Jika dokumen tidak sesuai) jika ditemukan bukti pengadaan fiktif, berita acara palsu, atau realisasi yang tidak sesuai, kasus dapat diarahkan pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor mengenai penyalahgunaan anggaran.
Penolakan Sekdes Sulaiman dan Kasi Pelayanan Sukron untuk membuka dokumen publik bukan hanya mencederai prinsip transparansi, tetapi juga berpotensi kuat melanggar sejumlah aturan negara. Alasan yang mereka berikan tidak memiliki dasar hukum, dan bertentangan dengan kewajiban pemerintahan desa untuk membuka informasi kepada masyarakat maupun media.
Atas dasar itu, masyarakat dan media memiliki hak penuh untuk membawa persoalan ini ke Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, Inspektorat Purbalingga, Unit Tipikor, maupun Ombudsman RI untuk memastikan dugaan pelanggaran transparansi serta potensi penyembunyian dokumen pengadaan kambing Ketapang 2021 dapat ditindak tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku.