Ratusan Anggota Koperasi Nurul Barokah Di Purbalingga Diduga Jadi Korban Penggelapan
Dugaan skandal keuangan berskala besar kembali mencuat di Kabupaten Purbalingga. Koperasi Simpan Pinjam Nurul Barokah, yang berlokasi di Desa Beji, Kecamatan Bojongsari, diduga telah merugikan ratusan anggotanya. Sejak 2020, para anggota tidak dapat mencairkan tabungan mereka sendiri. Selama empat tahun lebih, persoalan ini tidak pernah menemukan solusi konkret, sementara pihak pengurus masih saling lempar tanggung jawab dan merasa tidak bersalah. Total dana yang hilang dari anggota yang berasal dari Desa Banjaran diperkirakan mencapai lebih dari Rp4 miliar, belum termasuk dari desa lainnya.
Salah satu anggota yang telah bergabung sejak 2014 mengaku kehilangan harapan setelah empat tahun hanya diberikan janji tanpa kejelasan. "Sudah empat tahun lebih kami menunggu itikad baik, tapi tidak ada hasil. Koperasi tutup, pengurus juga tidak ada tanggung jawab," ujarnya.
Dari sisi internal koperasi, muncul pengakuan mengejutkan. Manajer berinisial IS mengakui menggunakan dana anggota sekitar Rp400 juta. "Betul, saya memakai empat ratus juta, dan semua laporan selalu saya sampaikan ke SA Selaku ketua pengurus sekaligus pemilik Koperasi Nurul Barokah," katanya. Sementara kasir berinisial TR mengaku memakai dana lebih dari Rp1,3 miliar. "Saya akui memakai satu koma tiga miliar. Sebagian sudah saya cicil sekitar lima ratus jutaan. Semua transaksi diketahui pengurus," ungkapnya.

IS dan TR juga menyebut bahwa kondisi koperasi memburuk karena tidak ada tambahan modal saat mulai muncul percikan permasalahan keuangan dari ketua pengurus, SA. "Kami sudah minta SA menambah modal supaya operasi stabil, tapi tidak pernah ditanggapi," ujar IS. Mereka turut mengungkap adanya kredit tanpa jaminan berdasarkan rekomendasi SA.
Namun SA membantah seluruh tuduhan dan menegaskan tidak mengetahui terjadinya penggunaan dana. "Saya tidak pernah memakai uang anggota. Semua pembukuan dan transaksi dipegang manajer dan kasir. Saya baru tahu saat uang anggota tidak bisa dicairkan sejak 2020," tegasnya. Saat diminta menunjukkan SOP, audit, maupun arsip pembukuan, SA mengaku tidak memegang dokumen tersebut. Ia juga mengatakan, "Kalau mau lapor polisi, saya siap ikut asal bersama di pihak korban."
Dinas Koperasi Kabupaten Purbalingga turut mengonfirmasi bahwa koperasi ini tutup tanpa laporan resmi. "Koperasi Nurul Barokah tutup atas inisiatif sendiri tanpa memberi tahu kami," jelas seorang pejabat dinas. Ia menegaskan bahwa sesuai aturan, penguruslah yang wajib bertanggung jawab penuh. "Dalam regulasi jelas, pengurus bertanggung jawab mengawasi jalannya koperasi."
Dinas juga mempertanyakan ketidakterbukaan para pengurus. "Kerugian dari ratusan anggota khususnya di Desa Banjaran saja sudah 4 miliar lebih, tetapi IS dan TR mengaku hanya sekitar 1,7 miliar. Sisanya ke mana? Kami pun bingung karena mereka tidak terbuka saat dimintai keterangan," ungkapnya.

Selama empat tahun lebih, tidak ada upaya nyata dari pengurus untuk menyelesaikan kerugian anggota, tidak ada audit dibuka ke publik, dan tidak ada pertanggungjawaban hukum yang dilakukan. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya kelalaian sistemik hingga potensi tindak pidana. Meski demikian, seluruh pihak tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah hingga ada proses hukum yang memastikan kebenarannya.
Beberapa potensi pasal yang mungkin relevan apabila kejanggalan-kejanggalan tersebut terbukti antara lain:
Penggelapan – Pasal 372 KUHP
Penggelapan dalam jabatan – Pasal 374 KUHP
Penipuan – Pasal 378 KUHP
Turut serta atau pembiaran tindak pidana – Pasal 55 KUHP
Pelanggaran UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, termasuk kelalaian pengawasan, pelanggaran struktur kepengurusan, dan penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, jika terbukti bahwa struktur koperasi dikelola oleh pihak-pihak yang masih memiliki hubungan keluarga dekat, hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang dapat dinilai sebagai pelanggaran prinsip good governance koperasi. Konflik kepentingan seperti itu dapat memperkuat dugaan kelalaian pengawasan maupun penyalahgunaan wewenang, walaupun tentu tetap menunggu hasil penyelidikan resmi.

Dalam konteks pemulihan kerugian anggota, apabila nantinya terbukti ada tindak pidana dan kerugian yang nyata, proses hukum memungkinkan penerapan penyitaan aset pribadi melalui mekanisme ganti rugi (restitusi) atau perampasan aset hasil kejahatan oleh pengadilan. Dengan demikian, aset milik pengurus atau pihak yang terbukti bertanggung jawab dapat digunakan untuk menutup sebagian atau seluruh kerugian anggota. Namun langkah tersebut hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan hukum yang berkekuatan tetap.
Hingga kini, para anggota hanya berharap mendapatkan kejelasan dan pengembalian hak mereka, karena lebih dari empat tahun persoalan ini bergulir tanpa penyelesaian konkret dan tanpa adanya pertanggungjawaban nyata dari pihak pengurus.